Jumat, 16 April 2010

Zubair Syafawi dan kisah rezeki milik siapa

Sosoknya tinggi besar, ada bekas sujud pada keningnya. Gaya bicara yang lembut tetapi tegas adalah ciri yang melekat padanya. Mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia) wilayah Jawa Tengah ini sudah berdakwah sejak remaja. Sosoknya yang sederhana, gampang belas kasih pada kaum dhuafa adalah sosok istimewa di tengah-tengah gemerlapnya fasilitas anggota Dewan.

Ya, Pak Zubair Syafawi pernah menjadi anggota legislatif DPRD I Jawa Tengah dari Partai Keadilan periode 1999-2004 dan anggota DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sosial periode 2004-2009. Beliau juga pernah dicalonkan menjadi gubernur/wakil gubernur Jawa Tengah. Dan, beliaulah calon Gub-Wagub yang memiliki harta paling sedikit? Aset kepemilikan beliau ketika dihitung hanya sejumlah 20 juta! Tidak lebih! Masya Allah.


Saya tergugu mendengarnya. Karena kebetulan saya dekat dengan keluarga beliau, saya tahu Pak Zubair dan Bu Dyah adalah sepasang suami-istri tangguh yang telah bertekad menginfakkan seluruh hidupnya untuk dakwah Islam dan tidak sedikit pun hendak mengambil rezeki lebih dari jalan dakwah yang beliau pilih.

Berputra hampir enam, rumah masih kontrak di daerah pemukiman padat, tidak memiliki kursi tamu sehingga setiap tamu diterima dengan lesehan, tidak memiliki kendaraan pribadi sehingga pergi kemanapun -termasuk ke kantor DPRD- memakai angkutan umum. Dan tahukan anda bahwa Pak Zubair hanya mengambil gaji dari Dewan secukupnya dan selebihnya selalu di berikan pada bendahara partai?

Ini adalah sepenggal kisah yang saya dengar sendiri dari istri beliau, Ibu Dyah Rahmawati, sepanjang perjalanan di wilayah barat Jawa Tengah.

“Bu Dyah, ceritakan pada saya tentang kemanfaatan harta duniawi,” pinta saya pada beliau.

Beliau tersenyum sambil memandang mata saya,”Harta duniawi itu kemanfaatannya tergantung pada kita. Kemanfaatannya terbagi menjadi tiga. Yang paling rendah adalah hisbusyaithan (jalan

syetan), yaitu ketika kita tabsyir (menyia-nyiakan harta, bermegah-megah, dan melupakan dhuafa).

Tingkat berikutnya adalah intifa’ (kemanfaatan), yakni ketika kita memiliki harta dan kemanfaatannya dirasakan oleh kita, keluarga sekaligus umat. Contohnya bila kamu punya mobil,” katanya pada saya, “maka itu intifa’ ketika bermanfaat tidak hanya untuk diri dan keluarga tetapi juga untuk dakwah. Nah, yang tertinggi itu fi sabilillah, yakni seluruhnya untuk dakwah, kita mengambil secukupnya saja, sekadarnya”.

“Jadi ibu tidak pernah menabung? Untuk pesiapan sekolah anak-anak, misalnya?” tanya saya gelisah. Beliau hanya tertawa. Saya menyaksikan sendiri bahwa visi itu tidak sekedar visi, tetapi telah menjadi karakter pada diri beliau berdua. Suatu saat pak Zubair mendapatkan rezeki yang banyak, lebih dari kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Maka, beliau meletakkan rezeki itu di atas meja.

“Pak mengapa uang begitu banyak di letakkan begitu saja di meja?” tanya Bu Dyah.

“Itu bukan rezeki kita Bu. Semoga nanti diambil oelh pemiliknya,” kata Pak Zubair tenang. Beliau melanjutkan kesibukannya, demikian pula Bu Dyah yang telah cukup dengan keterangan Pak Zubair.

Maka ketika hari belum menjelang siang, datanglah tetangga Pak Zubair, seorang pengemudi becak. “Assalamualaikum! Pak Zubair…, tolong… tolong… saya, Pak…!”

“Waalaikumussalam… monggo, pak…, lenggah rumiyen. Apa yg bisa dibantu, Pak?”

“Saya … tidak punya uang untuk menebus anak saya dari rumah sakit, Pak”.

Masih dengan senyum menenangkan, Pak Zubair mengambil uang yang sedari pagi tergeletak di atas meja. Utuh dalam amplopnya. “Yang empunya rezeki sudah mengambil haknya, Bu,” bisik Pak Zubair pada Bu Dyah.

(Izzatul Jannah dalam buku "Bukan di Negeri Dongeng")

0 comments:

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP